Sekitar 3.000 perempuan Malawi berkumpul di ibukota Lilongwe untuk memprotes serangkaian serangan atas perempuan yang mengenakan celana panjang. Mereka mengenakan celana panjang untuk mengungkapkan kemarahan atas serangan yang terjadi dan meminta diberi kebebasan dalam berpakaian.
Unjuk rasa tersebut menyusul aksi sejumlah pedagang kali lima pria yang dalam beberapa hari belakangan memukuli perempuan yang mengenakan celana panjang, rok mini, maupun pakaian lain yang mereka anggap tidak mempertimbangkan tradisi.
Aksi para pria tersebut bukan hanya terjadi di ibukota saja, juga di Blantyre dan Mzuzu. Dalam beberapa kasus, sampai ada perempuan yang dipaksa melepas pakaiannya. Memang pernah ada undang-undang yang melarang perempuan Malawi mengenakan celana panjang namun sudah dicabut 17 tahun lalu, seperti dilaporkan wartawan BBC, Zoe Conway.
Serangan atas perempuan bercelana panjang itu juga mendapat perhatian Presiden Malawi, Bingu wa Mutharika. Dalam pidato televisi sepanjang 15 menit, Presiden Mutharika menegaskan serangan tesebut melanggar hak asasi.
"Anda semua wanita dan anak perempuan di Malawi, Anda bebas mengenakan apapun yang Anda inginkan karena tidak ada undang-undang di negara ini yang mengatakan Anda harus mengenakan pakaian tertentu atau tidak mengenakan pakaian tertentu."
Banyak warga Malawi yang mempertanyakan kenapa isu ini muncul kembali dan tidak setuju jika dikaitkan dengan bangkitnya pandangan konservatif. Seorang pegiat hak perempuan, Seodi White, menduga alasanya lebih pada kesulitan ekonomi.
"Para pedagang kaki lima yang Anda lihat di jalangan bukan lanjut usia. Mereka adalah anak-anak muda, cukup muda untuk menjadi putra saya. Mereka mengajari saya tentang budaya? Mereka mengajari saya tentang cara berpakaian?"
"Ini tentang budaya atau soal lain dalam hal kesulitan ekonomi yang dihadapi orang dan mereka mencari sasaran untuk melampiaskannya." Selain menggelar unjuk rasa, para perempuan juga menyerukan boikot pada pedagang kaki lima pria sampai mereka meminta maaf atas perilakunya.
Sumber: BBC
Unjuk rasa tersebut menyusul aksi sejumlah pedagang kali lima pria yang dalam beberapa hari belakangan memukuli perempuan yang mengenakan celana panjang, rok mini, maupun pakaian lain yang mereka anggap tidak mempertimbangkan tradisi.
Aksi para pria tersebut bukan hanya terjadi di ibukota saja, juga di Blantyre dan Mzuzu. Dalam beberapa kasus, sampai ada perempuan yang dipaksa melepas pakaiannya. Memang pernah ada undang-undang yang melarang perempuan Malawi mengenakan celana panjang namun sudah dicabut 17 tahun lalu, seperti dilaporkan wartawan BBC, Zoe Conway.
Serangan atas perempuan bercelana panjang itu juga mendapat perhatian Presiden Malawi, Bingu wa Mutharika. Dalam pidato televisi sepanjang 15 menit, Presiden Mutharika menegaskan serangan tesebut melanggar hak asasi.
"Anda semua wanita dan anak perempuan di Malawi, Anda bebas mengenakan apapun yang Anda inginkan karena tidak ada undang-undang di negara ini yang mengatakan Anda harus mengenakan pakaian tertentu atau tidak mengenakan pakaian tertentu."
Banyak warga Malawi yang mempertanyakan kenapa isu ini muncul kembali dan tidak setuju jika dikaitkan dengan bangkitnya pandangan konservatif. Seorang pegiat hak perempuan, Seodi White, menduga alasanya lebih pada kesulitan ekonomi.
"Para pedagang kaki lima yang Anda lihat di jalangan bukan lanjut usia. Mereka adalah anak-anak muda, cukup muda untuk menjadi putra saya. Mereka mengajari saya tentang budaya? Mereka mengajari saya tentang cara berpakaian?"
"Ini tentang budaya atau soal lain dalam hal kesulitan ekonomi yang dihadapi orang dan mereka mencari sasaran untuk melampiaskannya." Selain menggelar unjuk rasa, para perempuan juga menyerukan boikot pada pedagang kaki lima pria sampai mereka meminta maaf atas perilakunya.
Sumber: BBC