Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

4 Nov 2011

Ular Dibawah Tempat Tidur

Seekor ular yang melingkar tepat di bawah tempat tidurku, yang seharusnya nyaman mendekam di 'dunia lain' itu, tiba-tiba muncul menampakkan diri dalam alam nyata. Bukan sekedar sesosok hantu kelas kecoak yang cuma bisa menakut-nakuti anak kecil dalam kesunyian malam kala sendiri.
Tapi dia mampu mengintervensi pikiran, perasaan, peran bahkan hidupku. Sampai pada titik kulminasi kesangupan untuk memilih:
Harus berbagi hidup dengannya, berkompromi dalam segala hal, sepertinya dia menjadi bayanganku dan aku menjadi bayangannya;
Atau harus terganti olehnya, tersingkir dari kehidupanku sendiri sejauh-jauhnya untuk selamanya.

Belum lama menghuni rumah kontrakan kami di Kelurahan Cibuluh, Bogor Utara, seorang kawan lama Mas Ari berkunjung. Ia terkaget-kaget saat memasuki rumah. Bukan hanya seperti terkaget-kagetnya teman-teman kantor Mas Ari saat mengetahui rumah kontrakan kami, yang menurut meraka tidak pantas dan terkesan kumuh untuk seorang staf perusahaan swasta multinasional di Jakarta.
[Sebuah rumah kontrakan tipe RSSsss… dengan halaman yang cukup luas dipenuhi berbagai tanaman, beratap asbes disekat menjadi delapan pintu yang dihuni delapan keluarga. Kalau di Jakarta dikenal dengan sebutan rumah petak. Masing-masing berukuran 3 x 7 m. Terdiri dari satu ruangan luas, yang disekat triplek untuk memisahkan ruang tamu dan kamar tidur yang merangkap sebagai ruang serbaguna, kamar mandi dan celah sempit untuk dapur. Itu saja masih lebih baik daripada kamar kost di Jakarta yang berukuran 3 x 3 m dan menjadi ruang segala fungsi dengan harga sewa 3 x lipat.]
Tetapi juga karena ia melihat sesuatu yang lain.
Menurut Amir, kontrakan kami ini menjadi tempat mobilisasi beberapa makhluk lain. Sebagian bertempat tinggal di pohon-pohon raksasa yang tumbuh di tanah kosong samping rumah. Sebagian lagi berasal dari kebon singkong di belakang rumah. Tetapi ada satu yang menetap dalam rumah ini.
"Ah masa? Bercanda lu Mir!", komentar Mas Ari mendengar penjelasan Amir.
"Aku selalu serius untuk hal yang tidak main-main Ar"
"Lalu, yang satu lagi?"
"Dia berada tepat dibawah tempat tidur kalian. Seekor ular besar yang tampak melingkar, seperti ular sungguhan yang sedang mengalami proses hibernasi atau tidur panjang", jelas Amir memelankan suaranya, setengah berbisik. Seakan khawatir ada yang terganggu bila mendengarnya.
"Tidak mengganggu?" tanyaku ikut memelankan suara. Kugosok-gosok lenganku yang bulu-bulunya terasa mulai berdiri.
Amir diam memandangku dan Mas Ari bergantian dengan muka serius. Lalu tawanya pecah melihat kami yang terbawa suasana.
"Ha…ha…ha! Tidak, tidak mengganggu, selama kalian yakin pada kekuatan Yang Maha Kuat"
Kami berdua menjadi lega.
Hari-hari berikutnya, cerita Amir hanya menjadi satu informasi yang mengendap dalam memori otakku. Aku sibuk dengan tugas-tugas rutin sebagai ibu rumah tangga, serta bersosialisasi sebagai tetangga baru. Berbagai masalah dan kejadian di kontrakan ini mewarnai hari-hari. Mulai dari persoalan kenaikan uang sewa, air yang sering mati, listrik yang sering turun. Pertengkaran dua anak yang saling berebut mainan, merembet menjadi perang mulut antar ibunya. Bahkan nenek, tante dan kerabatnya ikut-ikutan menjadikan perseteruan semakin seru. Padahal beberapa menit setelah bertengkar, anak-anaknya kembali bermain bersama, tanpa memperdulikan ibu mereka yang saling tidak bertegur sapa, meski rumah mereka bersebelahan. Yang tak kalah rame adalah persaingan materi antar penghuni kontrakan, mulai dari menu masakan, daftar belanja, daftar arisan, perhiasan, perabot, ukuran TV, kulkas, HP sampai sepeda motor. Ada juga satu penghuni kontrakan yang sejak ketahuan suaminya berselingkuh dengan wanita lain, jadi punya hobi berantem dan aksi lempar piring yang tak kenal waktu dan jelas-jelas mengganggu penghuni lain. Maklum, walau hanya dihuni delapan keluarga, tapi masing-masing mempunyai beraneka ragam kelas, latar belakang keluarga, pendidikan, karakter, gaya hidup dan cara hidup. Namun pada umumnya antar keluarga saling mengerti dan perduli, meski kadang kebablasan jadi terlalu ingin 'mengerti' dan terlalu 'perduli' masalah orang lain.
Dan keganjilan itu berawal pada suatu malam. Dalam tidur samar-samar kudengar dengkuran Mas Ari di sebelahku, makin lama makin keras. Tetapi suara dengkur itu agak aneh, ada suara lain yang mengiringinya. Suara yang halus namun jelas. Kubuka mata. Aku mengira-ngira suara apa itu. Kutajamkan pendengaran, berusaha menangkap dan menyaring semua jenis suara, bahkan ultrasonik maupun infrasonik sekalipun. Dadaku berdesir begitu mengenal suara itu. Itu adalah suara desis, desis ular. Kucoba mencari sumbernya, takut kalau ada ular dari kebon singkong atau kebon kosong samping rumah yang nyelonong masuk. Nihil, tidak ada apa-apa, kecuali suara desis yang timbul tenggelam ditengah dengkur Mas Ari.
Lalu aku teringat satu hal, siapa tahu ular itu bersembunyi di kolong tempat tidur. Cepat-cepat kulongok ke bawah. Gelap. Namun ada cahaya kecil berwarna merah. Tidak cuma satu, tapi dua. Seperti cahaya dari sepasang mata yang bersinar, memandang tajam dan menusuk. Menebarkan teror mental. Aku terpana sesaat. Begitu sadar bahwa ada bahaya dan aku harus melakukan sesuatu. Rasa takut serta-merta menyergap karena teringat cerita Amir waktu itu. Aku hendak membangunkan Mas Ari yang tengah pulas, tapi begitu ingin mengangkat tangan kanan, terasa begitu sulit digerakkan. Satu gerakan saja, membuatku kelelahan setengah mati, dan tetap tak berhasil juga. Ditengah-tengah putus asa, aku berteriak. Tapi tak satu suara pun yang keluar dari mulutku. Semakin keras aku berusaha, yang terdengar hanya suara igauan. Aku semakin panik. Dan…
Aku tersentak. Mimpi yang aneh namun terasa nyata. Mendorongku untuk melongok ke bawah tempat tidur. Tidak segelap tadi. Tidak ada apa-apa, kecuali kandang kecil yang dihuni sepasang hamster kesayanganku.
"Ah, hanya bunga tidur", gumamku sambil menarik nafas lega. Kulirik Mas Ari yang masih lelap tidur. Kulirik jam weker di meja, hampir pukul empat pagi. Sayup-sayup terdengar lantunan ayat suci dari masjid dekat lapangan bola di ujung utara desa. Disusul suara perkutut tetangga sebelah yang manggung. Sebentar lagi subuh, mataku susah dipejamkan kembali. Lalu aku beranjak mengambil air wudlu, menanti sholat subuh.
Mimpi itu hampir terlupakan sampai suatu malam terulang kembali. Aku menceritakannya kepada Mas Ari.
"Itu kan cuma mimpi", komentar Mas Ari, sama seperti komentar-komentar sebelumnya bila aku bercerita mimpi yang aneh, menakutkan, buruk atau yang menyenangkan.
"Tapi ini sampai terjadi dua kali, Mas. Aneh kan!", protesku.
"Kamu teringat-ingat kata Amir, jadi kebawa mimpi."
"Ah enggak. Mimpinya semalam, sedangkan Amir ngomongnya kapan. Masa iya kebawa mimpi"
"Sudahlah, tidak usah dipikirin. Itu kan cuma mimpi", lagi-lagi komentar itu yang muncul. Tidak mengurangi rasa penasaran, apalagi menjawab tanda tanya. Hanya menyisakan ketidakpuasan. Akhirnya aku berpikir, "Mungkin hanya kebetulan", dan mimpi itu tidak berarti apa-apa kecuali cuma sebuah mimpi.
Namun itu belum berakhir. Malam berikutnya, aku kembali tersentak dari tidur, oleh mimpi yang sama. Ini yang ketiga kalinya dan itu bukan lagi kebetulan. Kutarik nafas panjang. Mas Ari masih lelap dalam tidurnya.
Tapi ada yang aneh.
Di sela-sela dengkur Mas Ari, ada suara lain yang pelan yang sangat kukenali. Seperti desis ular. Terdorong rasa penasaran dengan meredam perasaan takut, kulongok ke bawah. Agak gelap. Betapa kaget karena sepasang mata merah dalam mimpi itu ada di sana. Seperti terlihat jauh, walau suara desisnya semakin jelas. Cepat-cepat kutarik kepala, kupejamkan mata dan mengatur nafas.
"Cuma mimpi, cuma mimpi", gumamku mengusir mimpi yang mungkin masih tersisa. Kubuka mata dan kuusap muka berkali-kali. Desis itu menghilang. Merasa agak lega, dengan rasa penasaran, pelan-pelan kujulurkan kepala ke kolong tempat tidur. Tapi aku lebih kaget lagi, karena ternyata bukan mimpi.
Buru-buru kubangunkan Mas Ari. Dengan terbata-bata kuceritakan apa yang barusan kulihat.
"Ah, masa sih!", Mas Ari tak percaya, serta-merta melongok ke bawah tempat tidur.
"Mana? Tidak ada apa-apa!", teriaknya, "Yang ada juga hamster-hamstermu yang lagi mengerat kandangnya", sambungnya.
"Benar Mas, aku tadi melihat sendiri", aku meyakinkan.
"Lihat saja sendiri. Mungkin kamu kebawa mimpi".
Lalu aku turun dan merunduk, namun sepasang mata itu masih di sana. Aku terpana. Aneh, walau rasa takut perlahan mulai lenyap.
"Gimana, tidak ada apa-apa kan?", tegasnya.
Aku hanya bisa mengangguk. Anggukan yang diartikan Mas Ari sebagai pembenaran ucapannya. Tapi anggukan itu lebih meyakinkan diriku tentang apa yang kulihat.
"Sudahlah, ayo tidur lagi", ajaknya yang kembali rebah dan menarik selimut. Aku pun mengikutinya. Tapi mataku tidak mau terpejam. Masih disergap tak percaya.
"Mengapa Mas Ari tidak melihat ular itu?", pikirku.
Akhirnya aku dapat memjamkan mata, setelah lelah memikirkan apa yang aku alami. Dan terlelap diiringi suara desis yang sekali-sekali terdengar.
Awalnya sulit menerima kehadiran ular itu. Bukan saja rasa takut yang sekali-sekali muncul, juga rasa selalu diawasi. Apapun yang kulakukan, bahkan saat berganti pakaian atau bermesraan dengan Mas Ari, selalu ada yang melihat. Tapi lama-lama jadi terbiasa juga dengan keberadaannya. Aku tidak tega mengusirnya. Lagipula dia sudah menghuni rumah ini jauh lebih dahulu dariku. Bahkan aku merasa ada yang menemani saat Mas Ari berangkat kerja. Terutama bila Mas Ari meeting di Puncak dan harus menginap atau pulang malam karena kesibukannya. Ular itu menemani ngobrol dan menjadi pendengar yang baik, sambil sesekali mengajukan komentar, pendapat atau saran. Tak lama, kami pun menjadi akrab. Sering kami memasak bersama, mencoba resep baru. Dia juga membantu menata ulang ruangan dan membantu menyelesaikan pekerjaan rumah. Meski begitu, kami tetap menjaga batas-batas keberadaan masing-masing.
Keharmonisan itu terusik di hari ulang tahunku.
"Dek, ayo bangun! Udah pagi nih", suara lembut Mas Ari membangunkanku. Aku menggeliat malas, "Eeehh… ngantuk!", mataku kembali terpejam nyaman.
"Selamat ulang tahun, sayang", sambungnya sambil mencium keningku.
Serta-merta mataku terbuka lebar, beradu dengan senyum manis Mas Ari.
"Oh, iya. Lupa", aku pun nyengir lebar, tak bisa menyembunyikan rasa senangku.
"Selamat ultah ya", ulangnya.
"Terima kasih", aku pun memeluk Mas Ari, "Eh Mas, hari ini aku akan masak nasi kuning. Nanti pulang cepat ya", rengekku. Seperti biasa. Setiap aku atau Mas Ari ulang tahun, aku selalu bikin tumpeng nasi kuning untuk merayakannya. Dan sebelum makan berdua, kami mengucap syukur atas nikmat satu tahun usia yang telah terlewati, dan memanjatkan doa untuk satu tahun kedepan.
"Iya, tenang. Jam setengah tujuh pasti sudah dirumah", Mas Ari meyakinkan. Akhir-akhir ini Mas Ari sering pulang telat. Kerjaannya bertambah banyak, karena Mbak Riri - rekan kerjanya - sedang cuti melahirkan. Terpaksa bagian budget pun harus ditanganinya sendiri.
"Bener, janji ya".
"Iya…janji."
Lepas maghrib, pekerjaanku selesai. Sebuah tumpeng mungil, lengkap dengan lauk dan hiasannya. Lalu aku mandi dan berdandan. Dihari spesial aku ingin tampak rapi. Kutengok jam, pukul tujuh kurang. "Mas Ari kok belum pulang?". Kupencet tombol remote TV, mencari acara yang bagus. Jam-jam begini semua TV berisi sinetron yang bagiku tak bermutu. Akhirnya aku pasrah menonton berita. Kutengok lagi jam weker, setengah delapan lebih. Kupanaskan lagi nasi tumpeng yang sudah dingin dan kubentuk kembali menjadi kerucut kecil. Kembali kupelototi TV, walau hatiku mulai resah. "Mungkin macet", pikirku. Tak terasa mataku mulai berat. Dan aku pun tertidur, tidak ingat lagi dengan rasa kesalku yang memuncak.
Aku terbangun, kaget. TV masih menyala. Kulirik jam, hampir jam sepuluh. Mas Ari belum pulang juga, dan rasa kesalku menjadi-jadi. Di bawah tempat tidur, ular itu mendesis-desis dengan nyaman, menambah kedongkolanku saja. Setelah selesai memanasi dan menata tumpeng untuk yang kedua kalinya, hampir pukul sebelas saat suara motor Mas Ari terdengar. Aku pasang muka masam, cemberut, lengkap dengan seribu satu omelan yang siap terlontar. Kubuka pintu. Mas Ari muncul dengan muka penuh perasaan bersalah, memandangku sambil memelas. Akan kuperlihatkan muka paling kecut yang pernah aku punya, sampai tiba-tiba ular itu keluar dan memasuki diriku. Tak sadar, aku tersenyum manis sambil mencium tangan Mas Ari. Mas Ari juga tersenyum lega. Namun aku malah terkejut. "Tidak, aku tidak berniat tersenyum!", benakku berteriak.
"Maaf Dek, aku tadi harus menyusun budget training untuk setahun kedepan. Mas harus menyelesaikannya hari ini, karena besok harus diserahkan ke direktur. Maafkan Mas, ya", mohonnya sambil memelukku hangat.
Seribu satu omelanku siap berloncatan: "Sudah jam berapa sekarang Mas? Berapa jam aku menunggu? Mas janji pulang jam berapa? Tahu tidak, sudah dua kali tumpengnya aku panasi! Sampai capek aku menunggu Mas, dan hanya kata maaf? ……", dengan nada tinggi, kulepaskan pelukannya sambil membanting pintu.
"Tidak apa-apa Mas. Mas juga capek kan? Yuk kita makan. Tumpengnya baru saja aku panaskan, nanti keburu dingin", kataku sambil menggandeng tangan Mas Ari ke dalam. Aku lagi-lagi terkejut. "Yang barusan ngomong itu bukan aku", protes batinku, "Pasti ular itu. Berani-beraninya dia merusak acara marahku, sebagai protes pada Mas Ari yang dengan seenaknya menyalahi janji. Apalagi ini hari ulang tahunku. Seharusnya dia lebih memperhatikan istrinya daripada pekerjaan yang seharusnya tanggung jawab orang lain. Kalau dibiarkan, lama-lama akan terbiasa!…", pikiranku terus memaki-maki. Sementara Mas Ari memimpin upacara mengucap syukur, memanjatkan doa dan mengucapkan selamat ulang tahun, sambil memeluk dan menciumku. Kulihat, aku pun berseri-seri bahagia, ditutup dengan makan tumpeng berdua.
Keesokan hari, begitu Mas Ari berangkat, buru-buru aku menemui ular itu.
"Apa maksudmu?", tanyaku setelah melontarkan seabrek protes atas ulahnya semalam.
"Aku hanya ingin kamu belajar menjadi lebih baik"
"Ah, alasan!", bentakku, " Kamu ingin menggantikanku pelan-pelan bukan? Menguasai, lalu setelah berhasil menjadi diriku, kamu akan menyingkirkanku! Selama ini kamu berteman denganku hanya untuk mengintai diam-diam, lalu saat aku lengah, kamu akan menerkam!"
"Aku hanya ingin kamu belajar bersyukur", kilahnya.
"Apa?!"
"Mensyukuri telah diberi suami yang baik, kehidupan yang baik. Apakah kamu tidak pernah berpikir bila memiliki suami yang jahat, atau pemabok, atau penjudi, atau suka main perempuan, atau cacat fisik, atau impoten atau apapun yang jauh dari keadaan suamimu sekarang? Masih sanggupkah kamu bersabar? Bila untuk kesalahan yang bukan atas kesengajaannya, kamu harus tega sekedar bermuka masam atau bahkan mengumpat, setelah lelah seharian mencari nafkah untuk istrinya?", kata-katanya pelan dan dalam. Mampu membuatku merenung, walau egoku tak menyurutkan kekesalanku padanya.
Itu awal permusuhanku dengan ular itu. Banyak kejadian berikutnya dan kembali dia begitu saja memasuki diriku. Seperti saat aku sedang jengkel dan berniat mogok masak, kemudian aku melihat diriku menjadi sangat ingin berbelanja dan membuat masakan yang spesial. Sampai-sampai Mas Ari menghabiskan masakanku dan mengeluh kekenyangan;
Atau saat aku kesal dan capek menunggu Mas Ari yang pulang telat, lalu aku melihat diriku berdandan rapi dan menyambut kepulangannya dengan senyuman. Bahkan kemudian memijiti punggung dan kakinya, karena Mas Ari tampak kelelahan;
Atau saat aku menemukan sebungkus rokok dalam saku Mas Ari. Aku benci dengan rokok. Ketika mulutku sudah mangap akan mengomel, lalu aku juga melihat diriku urung dan kembali memasukkan rokok tersebut ke saku;
Atau saat-saat aku dan Mas Ari bertengkar, entah siapa yang salah dan siapa yang memulai. Sebelum aku meledak dan pertengkaran menjadi lebih hebat, tiba-tiba saja aku melihat diriku meredam kemarahan dan meminta maaf lebih dahulu - hal yang pantang aku lakukan -. Dan pertengkaran menjadi pupus dan kami kembali berbaikan;
Namun selanjutnya aku tak akan kalah. Setelah bertengkar, saat Mas Ari meminta 'jatah' -istilah Mas Ari bila menginginkan melakukan hubungan suami-istri-, aku akan menolaknya mentah-mentah! Tapi lagi-lagi aku melihat diriku melayani permintaan Mas Ari, bahkan sampai tertidur puas. Sementara mataku tak mau terpejam memikirkan kekesalanku.
Begitulah, ular itu semakin melampaui batas. Dia mengikuti kemanapun aku pergi, ikut melakukan apapun yang aku lakukan, memikirkan apapun yang aku pikirkan, bahkan ikut merasakan apapun yang aku rasakan. Begitu saja masuk dan keluar dari diriku dengan seenaknya. Ular itu telah merubahku. Tidak, tidak merubah. Tepatnya menyusup dan menggantikanku. Itu bukan aku. Aku adalah pribadi yang meledak-ledak, spontan dan apa adanya. Aku tidak suka kepura-puraan atau menutup-nutupi perasaan. Dan bila aku memprotes ulahnya, dia akan selalu menjawab, " Aku hanya ingin kamu belajar menjadi lebih baik. Emosi akan merusak jiwamu dengan perlahan. Itu bukan kepura-puraan, tapi proses pembelajaran…". Bla…bla…bla… Alasan! Membuatku tambah benci. Tapi dia tetap tenang tak bergeming. Dan semakin aku membencinya, aku semakin tak berdaya melawan kekuatannya.
Sampai pada puncak kemarahanku padanya, puncak kebencianku, sekaligus puncak ketidakberdayaanku, "PERGIIII…!!!". Sebuah vonis yang telak. Aku tak mau ular itu menjadi bayanganku, apalagi aku tak sudi menjadi bayangannya. Aku juga tak mau terusir dari diriku, dari hidupku. Aku harus mengusirnya pergi sejauh-jauhnya dari rumahku, dari hidupku untuk selamanya.
Sejak saat itu, ular itu tidak nampak lagi. Tidak juga ada dimanapun. Di bawah tempat tidur tempatnya semula berasal pun, tidak ada. Sepi, hanya ada kandang kecil sepasang hamster kesayanganku. Bahkan dalam mimpiku sekalipun, dia tidak pernah muncul. Aku tersenyum bangga, karena berhasil mengusirnya. Akhirnya aku menjadi diriku lagi, menggenggam hidupku sendiri, tanpa dipengaruhi, baik perasaan, pikiran atau tindakannya. Dan bisa merasa tenang kembali.
Waktu berlalu. Aku merasa ada yang hilang. Aku rindu ular itu. Rindu saling bercerita, membuat kue bersama, menata ruang bersama, bercanda dengan hamster-hamsterku. Rindu keharmonisan saat pertama-tama kami berteman. Selama itu aku merenung, memutar kejadian demi kejadian yang membuatku membencinya. Salahkah apa yang ingin disampaikannya? Benarkah apa yang aku lakukan? Renungan yang begitu panjang, membawaku pada satu kesimpulan.
Sebenarnyalah ular itu tidak pernah mengalahkanku. Aku kalah pada diriku sendiri. Aku kalah saat tidak bisa mengendalikan emosi, perkataan dan perbuatan. Aku kalah saat tidak bisa mengendalikan diri sendiri. Sebenarnyalah dia tidak pernah mengendalikan perasaan, pikiran, peran ataupun hidupku. Tapi ego dan emosilah yang merasukiku, mencengkeram dan akan menghancurkan. Seharusnya bukan ular itu yang harus diusir, tetapi hawa nafsuku yang harus disingkirkan sejauh-jauhnya. Seharusnya dia tidak perlu pergi dan menghilang, tidak juga perlu ada. Karena dia adalah diriku sendiri. Diriku pada sisi yang lain, yang lebih dewasa dan matang.

* * * * *

Aku dan Mas Ari selesai mengemasi barang-barang terakhir. Rumah kontrakan yang aku tempati sudah kosong. Semua perabot sudah dipindahkan ke rumah kami yang baru. Sebuah rumah tipe 21di perumahan Pondok Sukahati Indah, blok B nomer 11, di kawasan Cibinong. Sebuah rumah kecil, yang baru kami beli dengan cucuran keringat, perasaan dan laku prihatin.
Kemudian kami berpamitan dengan pemilik kontrakan dan menyerahkan kunci, lalu berpamitan pada tetangga satu persatu. Sementara Mas Ari asyik ngobrol dengan tetangga, aku teringat sesuatu, hamsterku. Aku masuk rumah kembali, berhenti pada bekas tempat tidurku.
"Aku ingin berpamitan padamu juga. Tak perduli kau mendegarku atau tidak. Tak perduli kau ada atau tidak. Aku hanya ingin meminta maaf atas semua perbuatanku yang salah padamu. Mengucapkan terima kasih atas semua moment yang pernah kita lewati. Aku akan pindah ke rumah baru. Kamu jaga diri baik-baik, begitupun aku akan menjaga diri. Dan, selamat tinggal…"
Aku mengangkat kandang hamsterku, namun ada secarik kertas yang menempel di bagian bawahnya dan jatuh ke lantai. Perasaan aku sudah membersihkan ruangan ini sebelumnya dan tidak ada yang tersisa. Kuambil kertas itu dan kubaca. Aku tidak mengenali tulisan siapa ini.

Ciri wanita ahli surga adalah:
• Ridlo dengan suami yang telah dijodohkan oleh Allah
• Menjadi istri yang setia kepada suami dikala senang dan susah
• Selalu memohan maaf kepada suami
• Senantiasa taat pada suami selagi tidak menentang syari'at
• Senantiasa menghibur hati suami terutama bila suami dalam keadaan susah
• Senantiasa mendahulukan suami dalam segala keadaan
• Melembutkan pandangan dan tunduk apabila dihadapan suami
• Tidak pernah menolak bila disentuh suami kapanpun ia perlu
• Tidak berkhianat terhadap harta, perkara dan sebagainya, takkala suami tidak ada
• Senantiasa hormat pada suami dan orang tua suami
• Selalu mendo'akan keselamatan dan kesejahteraan untuk suami
• Selalu bersih dan bersolek untuk membahagiakan hati suami bila dipandang
• Tidak pernah menunjukkan wajah yang muram dan berlaku kasar terhadap suami
• Menyambut pulangnya suami dengan senyum dan mencium tangannya
• Tidak pernah keluar rumah tanpa seijin suami
Dan ikhlas melaksanakan semua itu.

Aku terdiam mematung mencermati huruf demi huruf dalam kertas yang kupegang. Terbayang keburukan demi keburukan yang aku lakukan. Betapa jauhnya aku dari ciri-ciri wanita ahli surga seperti dalam tulisan itu. Dan betapa banyak yang masih harus aku pelajari dan tebus dalam hidup ini. Dadaku bergemuruh menahan tangis yang siap pecah. Dan tiba-tiba aku merasa sangat lemah. Lama aku tercenung, sampai Mas Ari menyusul masuk dan mengajakku meninggalkan tempat, ke rumah kami yang baru.

By: Winarni Lestari

30 Jul 2011

SENJA DI MANUEL ANTONIO


Menyusuri pantai saat ini
Bukan saja menyusuri kembali kesan dan kenangan paling dalam yang terserak disini
Riak-riak ombak membelai pasir bersih tak pernah henti
Bongkah-bongkah karang menantang tak perduli
Haluan angin yang mulai berganti
Redup matahari menggoreskan siluet di kaki cakrawala
Rasanya semua turut andil meromantisasi suasana

Tetapi menyusuri pantai saat ini
Adalah menyusuri kembali sebagian jiwa yang terpuruk disini
Pertemuan kembali yang pertama dan terakhir dengan seseorang
Pada sebuah senja di Manuel Antonio
Setahun lalu

Kalau ditanya negara mana saja yang ingin Erwina kunjungi, Kosta Rika tak pernah masuk dalam daftarnya saat itu. Kalau bukan karena tugas studi banding yang dibebankan ke pundaknya yang ramping, barangkali dia tak pernah meginjakkan kaki disini. Di negara kecil yang terletak di kawasan Karibia, Amerika Latin. Mungkin karena Kosta Rika mempunyai sisi persamaan dengan Indonesia, sehingga Fakultasnya memilih negara ini sebagai tujuan studi berikutnya. Iklim tropis, keindahan alam, pantai, serta 40% wilayahnya adalah pegunungan dan hutan belantara. Tak ketinggalan makanan pokoknya nasi juga.
Pesawat yang ditumpangi Erwina dan ketiga rekannya mendarat pukul 17.00 di Bandara Juan Santamaria, yang terletak di distrik Alajuela 20 km dari ibukota San Jose. Erwina merasa lega karena terbebas dari siksaan mabuk udara. Karena hari sudah petang, taksi pun langsung menuju ke hotel D'Galah tempat mereka menginap. Tak jauh dari kampus Universidad de Kosta Rika, tempat studi diselenggarakan.
Meski mereka berempat adalah tenaga pengajar di sebuah perguruan tinggi ternama dan telah beberapa kali pergi ke negara lain, tapi masing-masing tetap saja udik saat pertama tiba di suatu negara. Ditambah rasa lelah yang menyerang, membuat langkah tegap ketika berangkat berubah mejadi setengah terseret. Pundak mereka seakan turun 10 cm. Apalagi Erwina, dia ingin segera menyapa ranjang yang nyaman. Mereka tak perduli lagi dengan pandangan aneh orang-orang di sekitar.
"Buenas Noches, senior and seniorita!", Ferdi yang berjalan paling depan membungkuk hormat sambil melepas topinya yang kucel, saat memasuki gerbang hotel.
"Ah, norak lu!", semprot Rini spontan, sewot.
"Eh kenapa, ngiri ya pada orang yang bakal ditaksir cewek-cewek cantik negara ini", sahut Ferdi tersenyum sok imut dengan mengerjap-ngerjapkan mata. Dan langsung ngeloyor ke meja resepsionis, tak perduli omelan Rini yang baginya terdengar seperti dengungan lebah.
Sementara Ferdi berbasa-basi dan cengar-cengir di meja resepsionis yang dihuni 2 wanita yang cukup menarik, Rini buru-buru ngacir ke toilet.
"Nitip tas ya nek, kebelet nih", katanya pada Agung yang leyeh-leyeh sambil kipas-kipas di kursi tamu.
Erwina asyik memandangi orang-orang yang lalu-lalang, lalu berkeliling lobi melihat-lihat bangunan yang berarsitektur Spanyol, sambil sesekali berhenti dan mengamati lukisan yang terpajang di dinding. Setelah Ferdi beres dengan urusan administrasi, mereka langsung masuk kamar. Erwina berdua dengan Rini, sedang Ferdi bersama Agung.
Mereka hanya 4 hari disini, 3 hari dengan jadwal yang padat di kampus dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore, dan 1 hari untuk kegiatan tramping (menyusur hutan). Nyaris tak ada waktu untuk manikmati pemandangan kota ini atau ke tempat-tempat wisata di negara ini. Apalagi memenuhi hobi 'shopping'-nya Rini dan hobi 'dugem'-nya Ferdi dan Agung. Karena itu Rini mendesak Erwina ikut menemaninya jalan-jalan melihat San Jose diwaktu malam. Tapi Erwina telah memutuskan tidur lebih awal karena esok pagi harus memulai aktivitas yang melelahkan.
"Ayo dong Er, pleee..ase. Masa kamu tega ninggalin aku jalan bareng dua kunyuk jelek ini", rengek Rini.
"Sialan!", sahut Agung spontan. Lalu melengos kearah Ferdi yang asyik memandangi seorang seniorita yang duduk di meja sebelah sambil senyam-senyum.
"Aduh Rin, aku capee..ek banget, sori deh. Tahu sendiri kan, tadi aku mabok berat", mohonku tak kalah memelas.
Rini merengut, tapi juga tak tega melihat wajah Erwina yang kelelahan, "Baiklah. Selamat tidur non, mimpi indah ya". Dengan terpaksa Rini membiarkan Erwina kembali ke kamar dan harus merelakan diri pergi dengan kedua makhluk yang nampak cengengesan membahas gadis cantik di meja sebelah itu.
Erwina segera menyapa kembali kamarnya yang terlihat sangat nyaman. Bed empuk ukuran besar dengan selimut yang lembut. Tak sabar membaringkan diri melepas penat.
Selamat tidur 'Pura Vida' *)
Kuingin bercengkerama denganmu malam ini
Tapi sori, aku lelah sekali
Kalau kita tak sempat jumpa atau aku tak pernah kembali
Kudatangi engkau lewat mimpi
Erwina menarik selimut dan menutup mata dengan senyuman. Sesaat kemudian tersesat di 'dunia lain'.
"Bangun, bangun non! Waktunya kerja. Telat!" teriak Erwina dikuping Rini.
Rini kaget, langsung beranjak sambil latah, "Aduh telat, telat". Tapi begitu memelototi jam yang menunjukkan pukul 06.30 dan melihat Erwina cengar-cengir, Rini spontan manyun 1 meter.
"Kampret lu Er, gue kira telat beneran".
"Dasar kebiasaan telat. Hari pertama nih, semangat dong!", sahut Erwina yang sudah mandi dan tampak segar. Beda dengan kondisi Rini yang kuyu, habis kelayapan semalaman dan pulang entah jam berapa. Erwina menyambut petugas hotel yang mengirim nampan air panas dan gelas. Dia lalu membuat secangkir kopi dan menikmatinya dengan santai di balkon kamar, tak perduli dengan Rini yang kembali rebah dan molor.
Hari pertama, Erwina disibukkan dengan presentasi si Anu, si Itu, kunjungan ke beberapa laboratorium dan pusat R & D (Riset & Developtment) di Universidad de Kosta Rika. Hari kedua tak jauh beda, mengikuti berbagai 'training' yang mendukung bidang yang dia geluti. Hari ketiga, kegiatan 'tramping' dilanjutkan dengan evaluasi ini-itu. Nyaris tanpa henti, maraton dari jam 8 pagi sampai jam 9 malam, kecuali coffee break, makan siang dan makan malam. Memang atas permintaan seluruh peserta, acara dipadatkan dari 4 hari kegiatan menjadi 3 hari. Agar ada 1 hari bebas bagi peserta negara lain untuk mengunjungi tempat-tempat wisata di Kosta Rika. Erwina mengikuti semua kegiatan dengan penuh semangat. Seperti biasa, tak kenal lelah dan energik.
Pada acara 'tramping', yang paling ditunggu-tunggu, Erwina tampil santai dengan oblong biru muda, jeans, tas ransel mungil dan sepatu kets. Penampilan yang sederhana, tapi wajahnya yang selalu berseri dan murah senyum membuatnya tampak bersinar. Seluruh peserta dibawa ke Taman Nasional Manuel Antonio. Melihat dari dekat berbagai jenis tumbuhan dan satwa yang ada di Kosta Rika sebagai data. Erwina tak henti-henti berdecak kagum dengan wisata alam negara ini. Disini semua wisata alam menampilkan alam apa adanya, terlindungi dan terpelihara. Sesuai dengan slogan pariwisatanya: 'Sin Ingredientes Artificiales', yang artinya tidak ada barang artifisial. Bahkan bangunan pendukung wisata dan tempat pedagang kaki lima pun terletak jauh dari obyek wisata.
Terpesona
Lelah dan tetes keringat tak terasa
Dan tak lama, melompat-lompat bagai seekor kelinci
Yang menemukan ladang wortel tanpa penghuni
Melompat-lompat bersama burung-burung penghisap madu yang terbang mengitari
Yang dilindungi dan jadi maskot negara nan cantik ini

Hari terakhir, Erwina jadi berpikir, akan menghabiskan hari dimana. Berbeda dengan Rini yang merasa bebas lepas, seperti pernah dipenjara dan dipaksa kerja rodi selama ratusan tahun. Akhirnya Erwina memutuskan ikut Rini, Agung dan Ferdi, berkeliling-keliling berlagak bak wisatawan. Mengunjungi Teatro Nacional (Teater Nasional), bangunan bergaya Kolonial Spanyol yang dibawahnya terdapat museum seni dan gedung pameran. Nongkrong di ruang terbuka, di taman atau bercanda dengan burung-burung dara. Menyusuri jalan-jalan bebas kendaraan, serasa bagai di Malioboro. Bahkan yang mengherankan Erwina, terlihat suvenir Kota Gede itu terpajang di beberapa pedagang kaki lima yang berjejer di sepanjang jalan.
Setelah puas mengukur jengkal demi jengkal jalanan San Jose, sorenya Erwina bermaksud mengungsi ke pantai Manuel Antonio. Dia paling malas belanja, walau Rini membujuknya ikut dengan memberikan berbagai argumentasi 'mumpung', dia tetap tak berminat. Apalagi menguntit para pria yang bersemangat menghabiskan malam di café dan bar. Dia lebih tertarik bercengkerama dengan alam. Lagipula baru satu-dua kali dalam hidupnya pergi ke pantai.
Memasuki pantai Manuel Antonio, Erwina bagai terseret magnet ketenangan yang luar biasa. Tak sabar dia copot sepatu, membiarkan jari-jemari kakinya yang telanjang bercanda dengan pasir dan menyapa buih-buih ombak yang membelai. Menyusuri pantai membenamkannya dalam perasaan damai. Disini Erwina menyadari telah berapa abad waktunya terlewati dalam rutinitas dan tekanan. Lupa bahwa jiwanya perlu romantisme, perlu ruang untuk diri sendiri. Dia mencoba menemukan 'present moment' yang selama ini hilang dari hidupnya. Selama ini tubuhnya terseok-seok memburu berbagai identitas yang terpaksa melekat padanya. Sebagai tenaga pengajar dan ketua R&D jurusan yang dituntut profesional, otaknya tertatih-tatih mengejar ilmu, informasi dan teknologi yang melesat dengan kecepatan cahaya. Bahkan dalam diam jiwanya mudah terinterferensi. Tubuh, pikiran dan jiwanya megap-megap karena 'over used'. Tapi disini, saat ini Erwina merasa waktu terhenti.
Merasakan sepenuhnya sinar matahari yang melimpah ramah
Membiaskan rona jingga di cakrawala
Dan mega yang masih menyisakan ruang untuknya
Merasakan sepenuhnya angin yang membelai wajahnya
Memainkan anak-anak rambutnya
Yang tak henti menciptakan gelombang atau sekedar riak-riak
Merasakan sepenuhnya lidah ombak yang menjilat kakinya
Datang dan surut menyisakan buih yang menggelitik
Tak pernah kehilangan kekuatan untuk menghempas karang
Meresapi semuanya, dalam diam
Erwina betah duduk berdiam diri berlama-lama, menghanyutkan diri dalam gelombang perasaan yang tak terdefinisikan. Entah sudah berapa waktu berlalu, setelah menyadari bahwa dia sedang diamati. Ada seseorang yang entah dari kapan menemaninya dari kejauhan. Seorang pria yang duduk memperhatikan Erwina yang terbawa suasana. Tangannya sibuk mencorat-coret kertas di map holder. Saat Erwina balik mengamati, pria itu tetap anteng dan tak perduli. Lalu Erwina tak terusik lagi.
Tak berapa lama Erwina mulai penasaran. Pria itu tetap disana. Erwina beranjak menghampirinya. Tiap langkah yang terlampaui bayangan pria itu mulai jelas. Berambut gondrong, kulitnya gelap akibat sering terbakar matahari, memakai kaos ketat lengan buntung dan celana jeans. Wajah itu . . . bukan karena cukup ganteng dengan cambang yang nampak baru numbuh, menambah serius wajahnya. Tapi Erwina merasa tidak asing, walau tampak lebih gosong. Mendadak jiwanya berdesir . . .
"Hi", sapanya. Pria itu acuh saja sambil terus sibuk dengan aktivitasnya. Sombong sekali, pikir Erwina sampai, "Hi juga".
Dan saat pria itu menatapnya sesaat, astaga!
"Kamu Yos . . .?", pertanyaan yang menggantung ragu. Tapi sontak pria itu mendongak kaget, aktivitasnya terhenti. Erwina menutup keraguan dan tersenyum ramah, tapi jauh di dasar hatinya bagai diterpa badai, perasaan yang campur aduk.
Yos berpikir keras, mengamati gadis mungil didepannya. Mengenakan jeans biru muda, sweater putih berenda bunga biru muda. Rambutnya lurus diikat dengan pita putih, dengan sekelompok anak rambut yang lepas dipermainkan angin. Membuatnya tampak manis dan anggun. Matanya tampak lucu saat melirik kertas di tangan Yos yang bertambah kagum dengan gadis yang dilukisnya itu.
"Wah, bakatmu semasa SMA makin terasah saja ya".
Yos makin buntu.
"Hei lupa ya. Aku Erwina, teman SMP dan SMU-mu dulu", sambil mengulurkan tangan kepada Yos.
"Erwina!", teriak Yos tiba-tiba, menyambut jabat tangan Erwina yang kaget dibuatnya. Sampai beberapa bule yang sedang asyik berjemur disekitar menoleh kearah mereka. Bahkan ada yang terlonjak bangun dan lalu geleng-geleng kepala. Seketika wajah serius Yos berubah ceria.
”Tak disangka kita bisa bertemu disini ya. Siapa yang kamu lukis?"
"Masa tidak tahu, itu kau"
"Hei, diam-diam melukisku ya:, Erwina merebut map holder ditangan Yos. Mengamati sebentar, lalu menyerahkannya kembali. "Ah, aku terlalu cantik di lukisan itu".
"Aku tidak pernah melebihkan dan mengurangkan apa yang aku lihat", Yos kembali tenggelam meneruskan lukisannya.
Erwina tak mau mengusiknya. Seorang gadis kecil menawarkan segelas Capucino dan berlalu setelah ditolak Erwina dengan ramah. Diamatinya wajah Yos dalam diam. Beberapa saat berlalu, dan beberapa saat itu telah mampu memutar seluruh moment yang pernah terjadi, sebelas tahun lalu. Dan beberapa saat itu mampu menghidupkan getaran hati yang bertahun-tahun mati. Getaran yang sama yang dirasakannya setiap memandang wajah itu, sebelas tahun lalu. Wajah yang sama, tapi tampak lebih dewasa.
Ya, sebelas tahun lalu, saat Erwina duduk di bangku kelas 2 SMP. Semula Yos bukanlah orang yang menarik perhatiannya. Namun semua berubah sejak penerimaan rapot semester pertama. Begitu kaget Erwina karena ada orang bernama Bachtiar Yos Margono yang menggeser kedudukannya di peringkat 3 ke peringkat 4. Hal ini cukup memukul Erwina, karena tak pernah sekalipun dalam hidupnya keluar dari peringkat 3 besar dikelasnya. Apalagi oleh Yos yang baru setengah tahun sekelas dengannya. Sejak saat itu Erwina selalu mangamati prestasi Yos dalam kelas, tugas, nilai ulangan dan peringkatnya tiap semester.
Tekad Erwina untuk selalu mengalahkan Yos begitu kuat. Hingga tanpa sadar dia pun mengamati sikap, sifat, kegiatan bahkan setiap gerak-geriknya. Lalu dia tertarik dengan kehidupan Yos, latar belakang keluarganya dan kegiatannya diluar sekolah. Sampai suatu saat Erwina begitu jengkel dan sedih saat mengetahui Yos dekat dengan seorang cewek di sekolahnya. Dan dia sadar, mungkin dia tertarik dengan cowok itu, atau bahkan mungkin dia telah jatuh cinta.
Saat Erwina masuk SMA, begitu senangnya dia bisa sekelas lagi dengan Yos. Dan semakin sadar, bahwa diam-diam dia mencintai Yos begitu dalam. Tapi begitu menyakitkan bila untuk dekat atau sekedar ngobrol dengan Yos saja seakan tak bisa, apalagi untuk menunjukkan perasaannya. Saat itu Erwina adalah gadis yang terlalu pendiam dan tertutup. Mungkin Erwina tidak cukup menarik perhatian Yos. Sementara Yos orang yang keren, menarik, banyak teman dan dekat dengan banyak cewek cantik di sekolah. Sehingga dinding pemisah itu begitu lebar dan tinggi baginya.
Karena Erwina selalu berpikir dan bersikap positif, rasa cinta dan harapan yang begitu kuat tersalurkan lewat ambisi Erwina dalam prestasi di sekolah. Dan persaingan yang hebat mampu menyingkirkan Yos keluar dari peringkat 10 besar. Walau prestasi Yos dalam bidang kesenian terutama melukis, olahraga basket dan ekstra kurikuler pecinta alam semakin gemilang. Dan rasa puas tak terkira saat Erwina lulus dengan nilai NEM yang jauh diatas Yos.
Perasaan yang begitu kuat pula yang membuat Erwina tetap mengharapkan Yos, walau terpisah di dua perguruan tinggi yang cukup jauh, Yos di Jawa Timur dan dia di Jawa Barat. Tetap mencari tahu kabar Yos melalui teman-teman. Perasaan dan harapan itu pula yang membuat Erwina menutup diri, dan sampai sekarang memilih sendiri. Walau dia tahu dari semula semua itu sia-sia dan akhirnya akan mati dengan sendirinya. Tapi dia menguburnya dengan rapi di sudut hati dan hidupnya yang dalam. Sampai menjadi berantakan kembali saat bertemu lagi dengan Yos disaat dan tempat yang tak terduga.
"Nah! Selesai sudah!", teriakan Yos membuyarkan lamunan Erwina yang hanya beberapa saat tapi terasa begitu panjang.
"Mau lihat?", Yos menyodorkan kertas ditangannya.
"Bagus sekali! Tapi ini bahkan terlihat lebih cantik dari yang tadi".
"Sudang kubilang, aku tidak pernah melebihkan atau mengurangkan apa yang kulihat. Aku menuangkan apa yang terpancar dari dalam, tidak hanya apa yang terlihat diluar. Itu berarti kamu memang cantik". Jantung Erwina bergetar, Yos melanjutkan, "Oh ya, kamu kesini melancong? Sendiri?"
"Tugas studi banding di Universidad de Kosta Rika bersama 3 rekan lainnya. Kamu?"
"Ooo . . . Sejak lulus kuliah, aku menyusul ortu kesini. Menginap dimana?"
"Di hotel D'Galah dekat kampus itu".
"Sampai kapan disini".
"Besok harus balik dengan penerbangan jam 10 pagi".
"Wah sayang", Yos nampak sangat kecewa, "Padahal aku ingin mengajakmu berpetualang ke tempat eksotis yang jarang dikenal orang".
"Oh ya, wah sayang sekali. Aku suka ke tempat yang masih alami daripada dipaksa ikut belanja atau ke bar bersama teman-teman. Makanya aku kesini sendiri", Erwina lebih kecewa karena harapan itu mulai menyala kembali.
Yos memandangi Erwina lama, Erwina jadi salah tingkah. Matahari semakin condong, membiaskan warna keemasan pada air laut yang ombaknya tenang. Batu karang tampak menghitam dan kawasan pantai mulai sepi.
"Aku tak pernah tahu kalau kamu memang cantik".
Erwina gelagapan, "Hei, wake up man!"
"Serius!", Yos ngotot, lalu tertawa berderai melihat gadis disampingnya mulai resah.
"Tu kan, kamu ngeledek!"
"Dulu kita lama sekelas, tapi aku tak pernah menyadari punya teman secantik kamu", suara Yos melembut.
Mereka diam dengan pikiran dan perasaan masing-masing. Sampai corong penjaga pantai memperingatkan bahwa sebentar lagi bus terakhir ke San Jose dan beberapa kota lain akan diberangkatkan pukul 16.30 dan gerbang pantai akan ditutup.
"Aku harus kembali", suara Erwina pelan dan berat.
"Besok pagi-pagi aku akan menjemputmu di hotel dan mengantarmu ke Bandara".
"Tak usah repot, tapi kalau kamu mau datang aku senang sekali. Besok aku cek out jam 9 pagi".
"OK. Aku harap kita masih bisa berjumpa. Ada nomer telpon dan alamat di Indonesia?"
Terbersit bahagia dihati Erwina. Mereka bertukar alamat dan telpon. Yos menulis alamat dan nomer telpon dibalik kertas lukisannya dan menyerahkan ke Erwina.
"Ini untukku?"
Yos mengangguk, tersenyum manii…isss. "Hanya ini yang bisa aku beri untuk kamu bawa pulang".
"Terima kasih". Erwina mengulurkan tangan, tapi Yos membalas jabat tangannya dengan genggaman yang hangat. Kesedihan menyusup dalam hatinya.
"Selamat tinggal"
"Sampai ketemu besok"
Erwina melangkah dan tak berani berpaling lagi, menyembunyikan hati dan matanya yang berkaca-kaca. Dari dalam bus yang mulai melaju, dilihatnya bayangan Yos yang memandangnya untuk menawarkan isyarat, sampai menghilang ditelan keremangan senja.
Jam tangan Erwina menunjuk angka 08.40. Dari tadi dia sudah menunggu di lobi hotel.
"Heh Er, dari tadi resah amat, ada yang ditunggu ya?", ledek Rini tiba-tiba.
"Eh, iya".
"Siapa hayo! Wah, baru 4 hari disini diam-diam udah dapet cowok. Selamet, selamet!"
"Ssstt norak lu. Cuma temen lama"
"Temen apa temen? Lebih dari temen juga gak pa-pa kok", Rini penasaran.
"Diem ah!”, Erwina melirik lagi jam yang baru dilihatnya.
"Segitu saja marah. Ada yang jatuh cinta nih ye…", Rini langsung ngeloyor sambil menyeret kopernya yang sarat muatan ke kursi tamu.
"Perhatian Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, taksinya sudah datang. Mari kita berangkat ke bandara", teriak Ferdi sok gagah, beraksi di depan 2 cewek resepsionis yang cantik.
"Kan masih 10 menit lagi Fer, tunggu bentar ya", Erwina memelas.
"Er, lu mau tinggal disini ya, boleh deh aku temenin", ledek Agung cuek.
"Ya Er, kita jaga-jaga kalo macet. Kita bisa ketinggalan pesawat", Ferdi berubah serius walau tak pernah serius. Erwina pasrah, walau hatinya galau.
Jam terbang hampir tiba, 5 menit lagi harus ke bagian pemeriksaan. Tapi Yos belum tampak juga. Erwina beranjak menelpon.
"Hello, hello!", suara diseberang ribut sekali.
Tiba-tiba terdengar suara wanita berbahasa Spanyol. Erwina gelagapan karena wanita itu tidak bisa berbahasa Inggris. Lalu Erwina meminta tolong seorang petugas bandara.
"Excuse me, would you help me for a second, please. I want to call someone"
Petugas itu berbicara sebentar, lalu meletakkan gagang telpon dengan raut simpatik.
"The man that you're looking for was dead last night, Mam. It was accident. I'm so sorry…"
Erwina termangu. Ada petir yang menyambar hatinya, menghanguskan perasaan dan harapan yang baru saja bersemi. Tak mendengar lagi apa yang dikatakan petugas itu. Bahkan tak mendengar suara Rini yang terlihat cemas, suara Ferdi dan Agung yang berbicara dengan petugas itu.
Erwina meleleh dan lenyap bagai asap.

* * * * *

Saat ini Erwina menyusuri kembali pantai Manuel Antonio. Ditangannya tergenggam erat lukisan yang diberikan Yos. Dihatinya tersimpan rapat perasaan dan harapan yang pernah hidup sekali lagi, dan tak akan pernah mati. Menyusuri kembali sebuah jiwa yang terpuruk disini. Mengenang pertemuan kembali yang pertama dan terakhir dengan Yos. Pada sebuah senja di Manuel Antonio. Setahun lalu.


By: Winarni Lestari




STATUS FB TERBAU 2015