30 Jul 2011

SENJA DI MANUEL ANTONIO


Menyusuri pantai saat ini
Bukan saja menyusuri kembali kesan dan kenangan paling dalam yang terserak disini
Riak-riak ombak membelai pasir bersih tak pernah henti
Bongkah-bongkah karang menantang tak perduli
Haluan angin yang mulai berganti
Redup matahari menggoreskan siluet di kaki cakrawala
Rasanya semua turut andil meromantisasi suasana

Tetapi menyusuri pantai saat ini
Adalah menyusuri kembali sebagian jiwa yang terpuruk disini
Pertemuan kembali yang pertama dan terakhir dengan seseorang
Pada sebuah senja di Manuel Antonio
Setahun lalu

Kalau ditanya negara mana saja yang ingin Erwina kunjungi, Kosta Rika tak pernah masuk dalam daftarnya saat itu. Kalau bukan karena tugas studi banding yang dibebankan ke pundaknya yang ramping, barangkali dia tak pernah meginjakkan kaki disini. Di negara kecil yang terletak di kawasan Karibia, Amerika Latin. Mungkin karena Kosta Rika mempunyai sisi persamaan dengan Indonesia, sehingga Fakultasnya memilih negara ini sebagai tujuan studi berikutnya. Iklim tropis, keindahan alam, pantai, serta 40% wilayahnya adalah pegunungan dan hutan belantara. Tak ketinggalan makanan pokoknya nasi juga.
Pesawat yang ditumpangi Erwina dan ketiga rekannya mendarat pukul 17.00 di Bandara Juan Santamaria, yang terletak di distrik Alajuela 20 km dari ibukota San Jose. Erwina merasa lega karena terbebas dari siksaan mabuk udara. Karena hari sudah petang, taksi pun langsung menuju ke hotel D'Galah tempat mereka menginap. Tak jauh dari kampus Universidad de Kosta Rika, tempat studi diselenggarakan.
Meski mereka berempat adalah tenaga pengajar di sebuah perguruan tinggi ternama dan telah beberapa kali pergi ke negara lain, tapi masing-masing tetap saja udik saat pertama tiba di suatu negara. Ditambah rasa lelah yang menyerang, membuat langkah tegap ketika berangkat berubah mejadi setengah terseret. Pundak mereka seakan turun 10 cm. Apalagi Erwina, dia ingin segera menyapa ranjang yang nyaman. Mereka tak perduli lagi dengan pandangan aneh orang-orang di sekitar.
"Buenas Noches, senior and seniorita!", Ferdi yang berjalan paling depan membungkuk hormat sambil melepas topinya yang kucel, saat memasuki gerbang hotel.
"Ah, norak lu!", semprot Rini spontan, sewot.
"Eh kenapa, ngiri ya pada orang yang bakal ditaksir cewek-cewek cantik negara ini", sahut Ferdi tersenyum sok imut dengan mengerjap-ngerjapkan mata. Dan langsung ngeloyor ke meja resepsionis, tak perduli omelan Rini yang baginya terdengar seperti dengungan lebah.
Sementara Ferdi berbasa-basi dan cengar-cengir di meja resepsionis yang dihuni 2 wanita yang cukup menarik, Rini buru-buru ngacir ke toilet.
"Nitip tas ya nek, kebelet nih", katanya pada Agung yang leyeh-leyeh sambil kipas-kipas di kursi tamu.
Erwina asyik memandangi orang-orang yang lalu-lalang, lalu berkeliling lobi melihat-lihat bangunan yang berarsitektur Spanyol, sambil sesekali berhenti dan mengamati lukisan yang terpajang di dinding. Setelah Ferdi beres dengan urusan administrasi, mereka langsung masuk kamar. Erwina berdua dengan Rini, sedang Ferdi bersama Agung.
Mereka hanya 4 hari disini, 3 hari dengan jadwal yang padat di kampus dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore, dan 1 hari untuk kegiatan tramping (menyusur hutan). Nyaris tak ada waktu untuk manikmati pemandangan kota ini atau ke tempat-tempat wisata di negara ini. Apalagi memenuhi hobi 'shopping'-nya Rini dan hobi 'dugem'-nya Ferdi dan Agung. Karena itu Rini mendesak Erwina ikut menemaninya jalan-jalan melihat San Jose diwaktu malam. Tapi Erwina telah memutuskan tidur lebih awal karena esok pagi harus memulai aktivitas yang melelahkan.
"Ayo dong Er, pleee..ase. Masa kamu tega ninggalin aku jalan bareng dua kunyuk jelek ini", rengek Rini.
"Sialan!", sahut Agung spontan. Lalu melengos kearah Ferdi yang asyik memandangi seorang seniorita yang duduk di meja sebelah sambil senyam-senyum.
"Aduh Rin, aku capee..ek banget, sori deh. Tahu sendiri kan, tadi aku mabok berat", mohonku tak kalah memelas.
Rini merengut, tapi juga tak tega melihat wajah Erwina yang kelelahan, "Baiklah. Selamat tidur non, mimpi indah ya". Dengan terpaksa Rini membiarkan Erwina kembali ke kamar dan harus merelakan diri pergi dengan kedua makhluk yang nampak cengengesan membahas gadis cantik di meja sebelah itu.
Erwina segera menyapa kembali kamarnya yang terlihat sangat nyaman. Bed empuk ukuran besar dengan selimut yang lembut. Tak sabar membaringkan diri melepas penat.
Selamat tidur 'Pura Vida' *)
Kuingin bercengkerama denganmu malam ini
Tapi sori, aku lelah sekali
Kalau kita tak sempat jumpa atau aku tak pernah kembali
Kudatangi engkau lewat mimpi
Erwina menarik selimut dan menutup mata dengan senyuman. Sesaat kemudian tersesat di 'dunia lain'.
"Bangun, bangun non! Waktunya kerja. Telat!" teriak Erwina dikuping Rini.
Rini kaget, langsung beranjak sambil latah, "Aduh telat, telat". Tapi begitu memelototi jam yang menunjukkan pukul 06.30 dan melihat Erwina cengar-cengir, Rini spontan manyun 1 meter.
"Kampret lu Er, gue kira telat beneran".
"Dasar kebiasaan telat. Hari pertama nih, semangat dong!", sahut Erwina yang sudah mandi dan tampak segar. Beda dengan kondisi Rini yang kuyu, habis kelayapan semalaman dan pulang entah jam berapa. Erwina menyambut petugas hotel yang mengirim nampan air panas dan gelas. Dia lalu membuat secangkir kopi dan menikmatinya dengan santai di balkon kamar, tak perduli dengan Rini yang kembali rebah dan molor.
Hari pertama, Erwina disibukkan dengan presentasi si Anu, si Itu, kunjungan ke beberapa laboratorium dan pusat R & D (Riset & Developtment) di Universidad de Kosta Rika. Hari kedua tak jauh beda, mengikuti berbagai 'training' yang mendukung bidang yang dia geluti. Hari ketiga, kegiatan 'tramping' dilanjutkan dengan evaluasi ini-itu. Nyaris tanpa henti, maraton dari jam 8 pagi sampai jam 9 malam, kecuali coffee break, makan siang dan makan malam. Memang atas permintaan seluruh peserta, acara dipadatkan dari 4 hari kegiatan menjadi 3 hari. Agar ada 1 hari bebas bagi peserta negara lain untuk mengunjungi tempat-tempat wisata di Kosta Rika. Erwina mengikuti semua kegiatan dengan penuh semangat. Seperti biasa, tak kenal lelah dan energik.
Pada acara 'tramping', yang paling ditunggu-tunggu, Erwina tampil santai dengan oblong biru muda, jeans, tas ransel mungil dan sepatu kets. Penampilan yang sederhana, tapi wajahnya yang selalu berseri dan murah senyum membuatnya tampak bersinar. Seluruh peserta dibawa ke Taman Nasional Manuel Antonio. Melihat dari dekat berbagai jenis tumbuhan dan satwa yang ada di Kosta Rika sebagai data. Erwina tak henti-henti berdecak kagum dengan wisata alam negara ini. Disini semua wisata alam menampilkan alam apa adanya, terlindungi dan terpelihara. Sesuai dengan slogan pariwisatanya: 'Sin Ingredientes Artificiales', yang artinya tidak ada barang artifisial. Bahkan bangunan pendukung wisata dan tempat pedagang kaki lima pun terletak jauh dari obyek wisata.
Terpesona
Lelah dan tetes keringat tak terasa
Dan tak lama, melompat-lompat bagai seekor kelinci
Yang menemukan ladang wortel tanpa penghuni
Melompat-lompat bersama burung-burung penghisap madu yang terbang mengitari
Yang dilindungi dan jadi maskot negara nan cantik ini

Hari terakhir, Erwina jadi berpikir, akan menghabiskan hari dimana. Berbeda dengan Rini yang merasa bebas lepas, seperti pernah dipenjara dan dipaksa kerja rodi selama ratusan tahun. Akhirnya Erwina memutuskan ikut Rini, Agung dan Ferdi, berkeliling-keliling berlagak bak wisatawan. Mengunjungi Teatro Nacional (Teater Nasional), bangunan bergaya Kolonial Spanyol yang dibawahnya terdapat museum seni dan gedung pameran. Nongkrong di ruang terbuka, di taman atau bercanda dengan burung-burung dara. Menyusuri jalan-jalan bebas kendaraan, serasa bagai di Malioboro. Bahkan yang mengherankan Erwina, terlihat suvenir Kota Gede itu terpajang di beberapa pedagang kaki lima yang berjejer di sepanjang jalan.
Setelah puas mengukur jengkal demi jengkal jalanan San Jose, sorenya Erwina bermaksud mengungsi ke pantai Manuel Antonio. Dia paling malas belanja, walau Rini membujuknya ikut dengan memberikan berbagai argumentasi 'mumpung', dia tetap tak berminat. Apalagi menguntit para pria yang bersemangat menghabiskan malam di café dan bar. Dia lebih tertarik bercengkerama dengan alam. Lagipula baru satu-dua kali dalam hidupnya pergi ke pantai.
Memasuki pantai Manuel Antonio, Erwina bagai terseret magnet ketenangan yang luar biasa. Tak sabar dia copot sepatu, membiarkan jari-jemari kakinya yang telanjang bercanda dengan pasir dan menyapa buih-buih ombak yang membelai. Menyusuri pantai membenamkannya dalam perasaan damai. Disini Erwina menyadari telah berapa abad waktunya terlewati dalam rutinitas dan tekanan. Lupa bahwa jiwanya perlu romantisme, perlu ruang untuk diri sendiri. Dia mencoba menemukan 'present moment' yang selama ini hilang dari hidupnya. Selama ini tubuhnya terseok-seok memburu berbagai identitas yang terpaksa melekat padanya. Sebagai tenaga pengajar dan ketua R&D jurusan yang dituntut profesional, otaknya tertatih-tatih mengejar ilmu, informasi dan teknologi yang melesat dengan kecepatan cahaya. Bahkan dalam diam jiwanya mudah terinterferensi. Tubuh, pikiran dan jiwanya megap-megap karena 'over used'. Tapi disini, saat ini Erwina merasa waktu terhenti.
Merasakan sepenuhnya sinar matahari yang melimpah ramah
Membiaskan rona jingga di cakrawala
Dan mega yang masih menyisakan ruang untuknya
Merasakan sepenuhnya angin yang membelai wajahnya
Memainkan anak-anak rambutnya
Yang tak henti menciptakan gelombang atau sekedar riak-riak
Merasakan sepenuhnya lidah ombak yang menjilat kakinya
Datang dan surut menyisakan buih yang menggelitik
Tak pernah kehilangan kekuatan untuk menghempas karang
Meresapi semuanya, dalam diam
Erwina betah duduk berdiam diri berlama-lama, menghanyutkan diri dalam gelombang perasaan yang tak terdefinisikan. Entah sudah berapa waktu berlalu, setelah menyadari bahwa dia sedang diamati. Ada seseorang yang entah dari kapan menemaninya dari kejauhan. Seorang pria yang duduk memperhatikan Erwina yang terbawa suasana. Tangannya sibuk mencorat-coret kertas di map holder. Saat Erwina balik mengamati, pria itu tetap anteng dan tak perduli. Lalu Erwina tak terusik lagi.
Tak berapa lama Erwina mulai penasaran. Pria itu tetap disana. Erwina beranjak menghampirinya. Tiap langkah yang terlampaui bayangan pria itu mulai jelas. Berambut gondrong, kulitnya gelap akibat sering terbakar matahari, memakai kaos ketat lengan buntung dan celana jeans. Wajah itu . . . bukan karena cukup ganteng dengan cambang yang nampak baru numbuh, menambah serius wajahnya. Tapi Erwina merasa tidak asing, walau tampak lebih gosong. Mendadak jiwanya berdesir . . .
"Hi", sapanya. Pria itu acuh saja sambil terus sibuk dengan aktivitasnya. Sombong sekali, pikir Erwina sampai, "Hi juga".
Dan saat pria itu menatapnya sesaat, astaga!
"Kamu Yos . . .?", pertanyaan yang menggantung ragu. Tapi sontak pria itu mendongak kaget, aktivitasnya terhenti. Erwina menutup keraguan dan tersenyum ramah, tapi jauh di dasar hatinya bagai diterpa badai, perasaan yang campur aduk.
Yos berpikir keras, mengamati gadis mungil didepannya. Mengenakan jeans biru muda, sweater putih berenda bunga biru muda. Rambutnya lurus diikat dengan pita putih, dengan sekelompok anak rambut yang lepas dipermainkan angin. Membuatnya tampak manis dan anggun. Matanya tampak lucu saat melirik kertas di tangan Yos yang bertambah kagum dengan gadis yang dilukisnya itu.
"Wah, bakatmu semasa SMA makin terasah saja ya".
Yos makin buntu.
"Hei lupa ya. Aku Erwina, teman SMP dan SMU-mu dulu", sambil mengulurkan tangan kepada Yos.
"Erwina!", teriak Yos tiba-tiba, menyambut jabat tangan Erwina yang kaget dibuatnya. Sampai beberapa bule yang sedang asyik berjemur disekitar menoleh kearah mereka. Bahkan ada yang terlonjak bangun dan lalu geleng-geleng kepala. Seketika wajah serius Yos berubah ceria.
”Tak disangka kita bisa bertemu disini ya. Siapa yang kamu lukis?"
"Masa tidak tahu, itu kau"
"Hei, diam-diam melukisku ya:, Erwina merebut map holder ditangan Yos. Mengamati sebentar, lalu menyerahkannya kembali. "Ah, aku terlalu cantik di lukisan itu".
"Aku tidak pernah melebihkan dan mengurangkan apa yang aku lihat", Yos kembali tenggelam meneruskan lukisannya.
Erwina tak mau mengusiknya. Seorang gadis kecil menawarkan segelas Capucino dan berlalu setelah ditolak Erwina dengan ramah. Diamatinya wajah Yos dalam diam. Beberapa saat berlalu, dan beberapa saat itu telah mampu memutar seluruh moment yang pernah terjadi, sebelas tahun lalu. Dan beberapa saat itu mampu menghidupkan getaran hati yang bertahun-tahun mati. Getaran yang sama yang dirasakannya setiap memandang wajah itu, sebelas tahun lalu. Wajah yang sama, tapi tampak lebih dewasa.
Ya, sebelas tahun lalu, saat Erwina duduk di bangku kelas 2 SMP. Semula Yos bukanlah orang yang menarik perhatiannya. Namun semua berubah sejak penerimaan rapot semester pertama. Begitu kaget Erwina karena ada orang bernama Bachtiar Yos Margono yang menggeser kedudukannya di peringkat 3 ke peringkat 4. Hal ini cukup memukul Erwina, karena tak pernah sekalipun dalam hidupnya keluar dari peringkat 3 besar dikelasnya. Apalagi oleh Yos yang baru setengah tahun sekelas dengannya. Sejak saat itu Erwina selalu mangamati prestasi Yos dalam kelas, tugas, nilai ulangan dan peringkatnya tiap semester.
Tekad Erwina untuk selalu mengalahkan Yos begitu kuat. Hingga tanpa sadar dia pun mengamati sikap, sifat, kegiatan bahkan setiap gerak-geriknya. Lalu dia tertarik dengan kehidupan Yos, latar belakang keluarganya dan kegiatannya diluar sekolah. Sampai suatu saat Erwina begitu jengkel dan sedih saat mengetahui Yos dekat dengan seorang cewek di sekolahnya. Dan dia sadar, mungkin dia tertarik dengan cowok itu, atau bahkan mungkin dia telah jatuh cinta.
Saat Erwina masuk SMA, begitu senangnya dia bisa sekelas lagi dengan Yos. Dan semakin sadar, bahwa diam-diam dia mencintai Yos begitu dalam. Tapi begitu menyakitkan bila untuk dekat atau sekedar ngobrol dengan Yos saja seakan tak bisa, apalagi untuk menunjukkan perasaannya. Saat itu Erwina adalah gadis yang terlalu pendiam dan tertutup. Mungkin Erwina tidak cukup menarik perhatian Yos. Sementara Yos orang yang keren, menarik, banyak teman dan dekat dengan banyak cewek cantik di sekolah. Sehingga dinding pemisah itu begitu lebar dan tinggi baginya.
Karena Erwina selalu berpikir dan bersikap positif, rasa cinta dan harapan yang begitu kuat tersalurkan lewat ambisi Erwina dalam prestasi di sekolah. Dan persaingan yang hebat mampu menyingkirkan Yos keluar dari peringkat 10 besar. Walau prestasi Yos dalam bidang kesenian terutama melukis, olahraga basket dan ekstra kurikuler pecinta alam semakin gemilang. Dan rasa puas tak terkira saat Erwina lulus dengan nilai NEM yang jauh diatas Yos.
Perasaan yang begitu kuat pula yang membuat Erwina tetap mengharapkan Yos, walau terpisah di dua perguruan tinggi yang cukup jauh, Yos di Jawa Timur dan dia di Jawa Barat. Tetap mencari tahu kabar Yos melalui teman-teman. Perasaan dan harapan itu pula yang membuat Erwina menutup diri, dan sampai sekarang memilih sendiri. Walau dia tahu dari semula semua itu sia-sia dan akhirnya akan mati dengan sendirinya. Tapi dia menguburnya dengan rapi di sudut hati dan hidupnya yang dalam. Sampai menjadi berantakan kembali saat bertemu lagi dengan Yos disaat dan tempat yang tak terduga.
"Nah! Selesai sudah!", teriakan Yos membuyarkan lamunan Erwina yang hanya beberapa saat tapi terasa begitu panjang.
"Mau lihat?", Yos menyodorkan kertas ditangannya.
"Bagus sekali! Tapi ini bahkan terlihat lebih cantik dari yang tadi".
"Sudang kubilang, aku tidak pernah melebihkan atau mengurangkan apa yang kulihat. Aku menuangkan apa yang terpancar dari dalam, tidak hanya apa yang terlihat diluar. Itu berarti kamu memang cantik". Jantung Erwina bergetar, Yos melanjutkan, "Oh ya, kamu kesini melancong? Sendiri?"
"Tugas studi banding di Universidad de Kosta Rika bersama 3 rekan lainnya. Kamu?"
"Ooo . . . Sejak lulus kuliah, aku menyusul ortu kesini. Menginap dimana?"
"Di hotel D'Galah dekat kampus itu".
"Sampai kapan disini".
"Besok harus balik dengan penerbangan jam 10 pagi".
"Wah sayang", Yos nampak sangat kecewa, "Padahal aku ingin mengajakmu berpetualang ke tempat eksotis yang jarang dikenal orang".
"Oh ya, wah sayang sekali. Aku suka ke tempat yang masih alami daripada dipaksa ikut belanja atau ke bar bersama teman-teman. Makanya aku kesini sendiri", Erwina lebih kecewa karena harapan itu mulai menyala kembali.
Yos memandangi Erwina lama, Erwina jadi salah tingkah. Matahari semakin condong, membiaskan warna keemasan pada air laut yang ombaknya tenang. Batu karang tampak menghitam dan kawasan pantai mulai sepi.
"Aku tak pernah tahu kalau kamu memang cantik".
Erwina gelagapan, "Hei, wake up man!"
"Serius!", Yos ngotot, lalu tertawa berderai melihat gadis disampingnya mulai resah.
"Tu kan, kamu ngeledek!"
"Dulu kita lama sekelas, tapi aku tak pernah menyadari punya teman secantik kamu", suara Yos melembut.
Mereka diam dengan pikiran dan perasaan masing-masing. Sampai corong penjaga pantai memperingatkan bahwa sebentar lagi bus terakhir ke San Jose dan beberapa kota lain akan diberangkatkan pukul 16.30 dan gerbang pantai akan ditutup.
"Aku harus kembali", suara Erwina pelan dan berat.
"Besok pagi-pagi aku akan menjemputmu di hotel dan mengantarmu ke Bandara".
"Tak usah repot, tapi kalau kamu mau datang aku senang sekali. Besok aku cek out jam 9 pagi".
"OK. Aku harap kita masih bisa berjumpa. Ada nomer telpon dan alamat di Indonesia?"
Terbersit bahagia dihati Erwina. Mereka bertukar alamat dan telpon. Yos menulis alamat dan nomer telpon dibalik kertas lukisannya dan menyerahkan ke Erwina.
"Ini untukku?"
Yos mengangguk, tersenyum manii…isss. "Hanya ini yang bisa aku beri untuk kamu bawa pulang".
"Terima kasih". Erwina mengulurkan tangan, tapi Yos membalas jabat tangannya dengan genggaman yang hangat. Kesedihan menyusup dalam hatinya.
"Selamat tinggal"
"Sampai ketemu besok"
Erwina melangkah dan tak berani berpaling lagi, menyembunyikan hati dan matanya yang berkaca-kaca. Dari dalam bus yang mulai melaju, dilihatnya bayangan Yos yang memandangnya untuk menawarkan isyarat, sampai menghilang ditelan keremangan senja.
Jam tangan Erwina menunjuk angka 08.40. Dari tadi dia sudah menunggu di lobi hotel.
"Heh Er, dari tadi resah amat, ada yang ditunggu ya?", ledek Rini tiba-tiba.
"Eh, iya".
"Siapa hayo! Wah, baru 4 hari disini diam-diam udah dapet cowok. Selamet, selamet!"
"Ssstt norak lu. Cuma temen lama"
"Temen apa temen? Lebih dari temen juga gak pa-pa kok", Rini penasaran.
"Diem ah!”, Erwina melirik lagi jam yang baru dilihatnya.
"Segitu saja marah. Ada yang jatuh cinta nih ye…", Rini langsung ngeloyor sambil menyeret kopernya yang sarat muatan ke kursi tamu.
"Perhatian Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, taksinya sudah datang. Mari kita berangkat ke bandara", teriak Ferdi sok gagah, beraksi di depan 2 cewek resepsionis yang cantik.
"Kan masih 10 menit lagi Fer, tunggu bentar ya", Erwina memelas.
"Er, lu mau tinggal disini ya, boleh deh aku temenin", ledek Agung cuek.
"Ya Er, kita jaga-jaga kalo macet. Kita bisa ketinggalan pesawat", Ferdi berubah serius walau tak pernah serius. Erwina pasrah, walau hatinya galau.
Jam terbang hampir tiba, 5 menit lagi harus ke bagian pemeriksaan. Tapi Yos belum tampak juga. Erwina beranjak menelpon.
"Hello, hello!", suara diseberang ribut sekali.
Tiba-tiba terdengar suara wanita berbahasa Spanyol. Erwina gelagapan karena wanita itu tidak bisa berbahasa Inggris. Lalu Erwina meminta tolong seorang petugas bandara.
"Excuse me, would you help me for a second, please. I want to call someone"
Petugas itu berbicara sebentar, lalu meletakkan gagang telpon dengan raut simpatik.
"The man that you're looking for was dead last night, Mam. It was accident. I'm so sorry…"
Erwina termangu. Ada petir yang menyambar hatinya, menghanguskan perasaan dan harapan yang baru saja bersemi. Tak mendengar lagi apa yang dikatakan petugas itu. Bahkan tak mendengar suara Rini yang terlihat cemas, suara Ferdi dan Agung yang berbicara dengan petugas itu.
Erwina meleleh dan lenyap bagai asap.

* * * * *

Saat ini Erwina menyusuri kembali pantai Manuel Antonio. Ditangannya tergenggam erat lukisan yang diberikan Yos. Dihatinya tersimpan rapat perasaan dan harapan yang pernah hidup sekali lagi, dan tak akan pernah mati. Menyusuri kembali sebuah jiwa yang terpuruk disini. Mengenang pertemuan kembali yang pertama dan terakhir dengan Yos. Pada sebuah senja di Manuel Antonio. Setahun lalu.


By: Winarni Lestari




2 komentar:

STATUS FB TERBAU 2015